SAHABAT
Ketika tanpa kusadari semua hal telah berubah, sebenarnya tak cukup
kuat dan sanggup bagiku menghadapi kenyataan yang ada. Semua kadangkala
kurasa hanya seperti mimpi buruk. Dan kuharap semua berakhir ketika
setiap pagi aku terjaga. Ketika aku membuka mata, aku tak ingin menemui
bahwa hari-hari tak akan pernah sama seperti dulu. Seperti saat kau
selalu bersamaku. Melewati setiap detik dan setiap pergantian menit
bersama-sama. Aku merindukanmu tanpa kau tahu. Entah di sana kau
merindukan itu semua atau tidak. Aku ingin kembali pada masa-masa itu.
Tapi lambat laun aku mengerti, waktu tak akan pernah berjalan mundur.
Apapun dan bagaimanapun keadaannya, hidup harus tetap berlanjut.
Setiap genggaman jemari bersamamu adalah hal indah yang tak ingin
kulupakan selamanya dalam hidupku kawan. Tiap detik bersamamu menjadi
hal berharga yang kupikir tak akan pernah usai. Tapi dalam gelapnya
malam aku mulai tersadar bahwa semua hal tak ada yang abadi. Seperti
halnya pagi selalu berganti menjadi siang, siang menjadi sore, sore
menjadi malam, dan malam menjadi pagi lagi… begitu seterusnya. Pada
dasarnya semua berganti seiring waktu berlalu. Tapi itu baru kusadari
saat ini, ketika semua telah jauh terlambat. Aku telah berhenti berusaha
mewujudkan mimpi-mimpi denganmu.
—
Samar-samar terdengar lirik lagu “Tak Ada yang Abadi” dari hp ku di
tengah keheningan malam. Saat semua telah terlelap dan menari dengan
bunga tidur masing-masing. Sementara aku di sini masih saja tak bisa
memejamkan mataku sedikitpun.
Tak kan selamanya tanganku mendekapmu…
Tak kan selamanya raga ini menjagamu…
Seperti alunan detak jantungku..
Tak bertahan melawan waktu…
Dan semua keindahan yang memudar..
Keheningan membawa serta bayangmu. Membawa seluruh waktu yang kita
lalui. Pertama mengenalmu adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang selalu
ku syukuri. Tertawa denganmu adalah hal yang sangat membahagiakan.
Membuatmu tersenyum itu adalah hal yang membuatku tenang. Bersamamu
dalam kesepian dan tertawa lepas adalah saat yang paling berharga dalam
hidupku. Ketika kau temani aku di setiap masalah hidup yang bergelut
menghampiriku. Aku bahagia kawan memilikimu.
Pertama-tama yang ku tatap adalah senyummu dan pertama-tama yang
kuingat adalah saat kau ulurkan tangan, di lorong SMP 2 Boja
tercinta. Pelan kau sebutkan namamu. “Meyta.” “Rara.” Singkat. Dan aku
mengerti kamu canggung, sama halnya denganku. Kusebutkan namaku tak
kalah pelan “Sila.” Semua kisah kita mulai dari sana dan pelan tapi
pasti semua kisah kita teruai.
Kita menyusuri liku-liku kehidupan bersama-sama. Kita seolah kesatuan
yang tak terpisah oleh ruang dan waktu. Perbedaan lebur menjadi hal
yang istimewa dan memberikan warna bagi perjalanan yang kita tempuh.
Mengisi liku-likunya dan kadang kala kita terhempas bersama-sama dalam
sebuah keterasingan. Semua terlewati begitu cepat. Hujan panas mendung
apaun kita lewati bersama kawan. Kita menyusuri setiap pelajaran yang
membosankan dari guru-guru bersama-sama. Kita menyelesaikan masalah
bersama-sama.
Masih selalu membekas jelas di benakku ketika kau menangis memelukku,
menumpahkan segala keluh kesahmu. Ketika kau setiap pagi menyongsongku
untuk menuntut ilmu bersama. Masih ingatkah kau kawan… ketika kita basah
kuyup karena hujan berkepanjangan. Ah… aku merindukan setiap detik itu
kawan.
Masih membekas jelas ketika kita tanpa jelas memutari alun-alun kota,
pergi berjalan-jalan di malam minggu berduaan hanya untuk sekotak susu,
hanya untuk sehelai jilbab, ataupun hanya untuk sebuah bross yang tak
seberapa berharganya.
Ingatkah kau kawan… ketika aku selalu menangis dan mengatakan aku
ingin menyerah dari setiap masalahku, dan kamu selalu bilang… Tuhan
punya rencana indah di balik segala cobaan-Nya. Kamu selalu bilang agar
aku tak mengeluh. Aku melakukannya kawan. Mungkin tanpa kamu tahu dan
tanpa kamu lihat.
Masih membekas jelas pula kawan, ketika aku dalam satu titik
kepenatan yang sangat, kamu mengajakku menyusuri malam. Ketika itu
pergantian tahun. Pergantian tahun yang kurasa seperti mimpi buruk yang
tak jelas. Masih membekas jelas saat aku berada di ujung harapan tentang
hidup ini. Ketika aku jatuh dan ingin bangkit. Kamu selalu menjadi
tongkat yang membuatku mampu berdiri tegak. Kita sama-sama menyiapkan
pundak kita masing-masing untuk saling bersandar.
Tiba-tiba kejadian itu terjadi begitu saja. Aku nggak tahu siapa
sebenarnya yang salah… kamu berubah, aku berubah, dan semuanya berubah.
Aku kehilangan kamu kawan. Kehilangan senyummu yang ingin kulihat setiap
hari. Bukan wajah masammu yang menyakitkan hatiku. Memang. Aku terlihat
baik-baik saja. Aku selalu tersenyum dan tegar tanpamu. Berusaha
baik-baik saja tanpa hadirmu. Tapi kamu harus tahu bahwa aku sangat
kehilangan kisah kita. Aku menyesal kisah kita berakhir tanpa rasa yang
tak jelas.
Awalnya kita selalu bersama, bertiga. Tapi entah aku tak mengerti di
mana salahku kalian berdua berubah. Aku terpekur sendirian dalam gelak
tawaku tanpamu. Sebenarnya aku ingin terus tertawa bersama kalian.
Memberikan sedikit oleh-oleh yang sama sekali tak berharga pada kalian.
Tapi aku selalu mencoba mengerti bahwa kisah kita telah usai.
Dan pada akhirnya aku bertanya kepadamu, di mana salahku? Kita
sama-sama tak tahu. Kamu hanya bilang kalau kamu merindukan aku yang
dulu. Ya… aku yang selalu bersamamu. Tapi kawan… sangat menyakitkan apa
yang ku dengar saat itu. Saat kamu berpikir aku hanya memanfaatkan
kebaikanmu. Ibaratnya aku telah kehilangan satu semangat dalam hidupku.
Aku benci kata itu meskipun tak ku dengar langsung dari bibirmu. Aku
kecewa. Itu menyakitkan kawan. Aku tak pernah ada sedikitpun niat untuk
seperti itu. Tapi entah kenapa kamu berpikir aku sebegitu naif.
Andai saja Tuhan bisa mengatakan, aku benci kamu. Aku benci setiap
tatapanmu saat itu. Aku benci harus menyapamu tanpa kamu pedulikan
sedikitpun. Kau acuh dengan segala lakuku. Dan saat itu aku sejenak
berpikir, aku bisa tanpamu. Dan pada akhirnya kuputuskan untuk mencari
kehidupan yang nyaman, menikmati hidupku tanpa mengganggu kehidupanmu.
Aku tak pernah ingin mengganggumu lagi. Dan seringnya kuurungkan setiap
hasratku untuk menyapamu di setiap pagi datang menjelang. Sekalipun aku
selalu ingin menyapamu. Aku takut sapaanku adalah sebuah kesalahan yang
tak ku sengaja. Dan aku tak ingin semua yang kulakukan sia-sia. Karena
kita telah berbeda.
Dan tiba-tiba saat itu kamu harus kehilangan satu napas yang sangat
berarti bagimu. Aku datang memelukmu kawan. Kuteteskan air mataku
untukmu. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasa kawan. Aku mencoba
membuatmu tersenyum meskipun itu sangat berat. Tapi jujur aku tak banyak
berharap kita kembali seperti sedia kala. Karena saat itu kita telah
berbeda, jauh berbeda. Meskipun entah aku tak tahu apa yang membedakan
kita. Mungkin hanya perasaan kita masing-masing yang saling merindu.
Aku lelah untuk selalu positif thinking tentang kalian kawan. Kalian
jauh, jauh sekali dari gapaian tanganku dan sangat berubah. Aku seolah
tak ada artinya di hadapanmu. Aku seolah kerdil jika terpaksa harus
bersama-sama denganmu. Tapi saat itu aku ingin menunaikan kewajibanku
sebagai sahabatmu kawan. Sabagai sahabat yang baik kukira. Dan mungkin
tak sama seperti yang kamu kira.
Waktu terus bergulir. Aku tahu kamu menemukan orang-orang baru yang
sangat klop denganmu. Sementara aku rasanya bukan siapa-siapa lagi. Aku
tak tahu kamu pernah berpikir hal yang sama denganku atau tidak. Aku pun
juga semakin lama semakin tak peduli dengan semua yang terjadi. Kawan…
sebenarnya aku kelelahan harus berpura-pura menikmati hidupku tanpamu,
tanpa kalian berdua. Aku tak mengerti.
Saat itu kamu “Rara” juga mulai berubah. Sangat berubah. Kamu tak
peduli dengan sapaanku setiap malam. Aku tak tahu salahku ada di mana.
Dan entah yang kesekian kalinya aku kebingungan mencari kesalahanku
sendiri. Aku lelah dengan sikapmu.
Dan hari itu kita bertemu pada satu ruang yang sama. Kita bertiga
menangis bersama-sama. Kita meraung-raung berpelukan. Itu hal yang
sangat membahagiakan dan mengharukan bagiku kawan. Pelukanmu itu adalah
kehangatan yang selalu ku tunggu. Menyusup pelan mengisi kekosongan satu
rongga dalam jiwaku. Aku bahagia dalam tangisan itu kawan. Aku ingin
merasakannya lagi sekarang. Tapi aku sangat sangat menyadari bahwa semua
tak akan pernah sama seperti yang dulu. Dan ada hal yang sangat
membahagiakan lagi kawan, saat itu kamu pernah bilang “kamu merindukan
saat-saat dulu, ketika kita bersama-sama merangkai cita dan rencana
bertiga”. Aku juga sangat merindukannya. Aku ingin mengulangnya sekali
saja andaikan ada kesempatan.
Tapi aku tak habis pikir, kenapa seolah-olah aku yang paling bersalah
di antara kita bertiga. Seolah aku yang merusak persahabatan kita.
Padahal aku tak sadar, di mana titik kesalahan itu. Aku mencarinya, tapi
aku tak pernah menemukan. Dan kalian berdua tertawa bahagia bersama.
Aku cukup senang melihat senyum kalian, meskipun jujur di hatiku sangat
sakit. Aku ingin merasakan lagi. Aku iri. Aku benci.
Dan tibalah saat terakhir kita berada pada satu atap yang sama. Hari
itu kamu mengucapkan tetap sebagai sahabatku. Dan kau “Rara” mengatakan
jika ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku. Entah aku tak tahu itu apa.
Macam apa. Kata-kata apa. Aku terlalu bodoh mungkin jika hingga kini
tetap tak menyadari letak kesalahanku. Dan sadarkahku kawan… hingga saat
ini, detik ini masih ada pertanyaan yang tersisa dalam benakku. Aku
masih menunggu apa yang ingin kamu sampaikan. Meskipun mungkin kini aku
benar-benar bukan apa-apamu lagi. Aku masih merindukan kamu menyapaku.
Tapi itu hanya sebuah kesalahan dalam setiap imajiku.
Kawan… apa kalian tak pernah merindukanku?
Apa kalian tak pernah menyisakan sedikit saja ruang di hidupmu untuk mengenang kisah kita?
Apa kalian tak pernah merasakan hal yang sama denganku?
Apa kalian tak pernah menganggapku ada dalam duniamu saat ini?
Aku lelah kawan… aku lelah…
Aku lelah mengingat setiap senyum dan tawa kita.
Aku ingin menguburnya dalam-dalam kawan. Aku ingin move on dengan perasaan ini.
Tapi ternyata tak mudah… Aku tak bisa melakukannya, entah sampai kapan.
Kawan, aku masih menyisakan harapan di hatiku. Aku berharap kamu
masih menyimpan kenangan kita. Kenangan yang tak begitu banyak dan tak
sempurna. Masih sakit kawan, ketika melihat kamu tersenyum di mana pun.
Bukan karena apa-apa, hanya karena aku ingin kita tersenyum bersama. Itu
saja kawan. Sangat sederhana bukan? Dan aku pun ingin saat kita tua
nanti, ketika bertemu. Kalian berkata “Dia sahabatku dulu, ketika
menuntut ilmu di bangku SMP yang sangat gila”, harapan itu nggak akan
pernah hilang kawan, meskipun aku telah letih untuk berharap itu semua.
Di sini hanya ada sititik doa, semoga hidup kita selalu dalam
lindungan-Nya. Semoga kita diberikan masa depan yang cerah. Masa tua
yang bahagia dengan cinta yang sempurna. Dan aku menginginkan satu hal
sederhana satu lagi kawan saat ini. Aku ingin merasakan bahagia saat
menerima undangan pernikahan kalian. Aku ingin datang dan mengucapkan
selamat menempuh hidup baru dengan orang pilihanmu, dengan jodohmu.
Aku menulis ini dengan air mata yang teruai. Ya. Aku memang lebay
atau alay, atau apalah. Tapi inilah hatiku. Inilah hakku. Aku benci
harus sering bermimpi bersama kalian. Aku ingin move on. Aku ingin
menikmati hidupku sekarang. Dan tahukah kamu Meyta… aku sekarang bertemu
seseorang. Seorang sahabat yang begitu dekat denganku. Rasanya aku
hanya mengulang kisah kita saja. Kenal, dekat, akrab, saling curhat, dan
ke mana-mana bersama-sama. Tapi aku rasanya lebih siap dan harus lebih
berhati-hati untuk mengenalnya. Aku takut disebut parasit. Aku benci
kawan. Aku tak ingin mengulang rasa sakit yang sama seperti saat itu.
Aku ingin lebih dewasa kawan. Aku ingin membawa langkahku ke depan
yang lebih baik. Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikan kalian.
Tak akan pernah kawan. Sampai tua nanti aku akan tetap menyebut kalian
sahabatku. Mengenalkan pada anak-anaku. Seperti halnya ibuku mengenang
sahabat-sahabatnya dan bercerita padaku kawan. Jujur ada rasa sakit yang
kurasa saat melihatmu tersenyum di facebook atau apalah. Entah aku tak
tahu kenapa. Dan buruknya semua itu harus terbawa ke dalam
mimpi-mimpiku, menjadi bunga tidurku. Mungkin hanya karena aku
merindukan kalian, itu saja. Tapi aku mulai berpikir lagi kawan.
Berharap kita akan mengulang saat-saat tertawa dan tersenyum bersama
adalah sebuah harapan bodoh yang telah kubiarkan terlahir di imajiku.
(SELESAI)
di kutip dari "http://cerpenmu.com/cerpen-persahabatan/sahabat-7.html "